Rabu, 27 Mei 2015

Diari kabus di puncak kejauhan



Ingin sekali aku tumpahkan tinta ini pada mentari,
Atau di ukir saja pada kejora buat pedoman laksamana meneroka samudera,
Namun apakah daya aku hanya manusia,
Maka di helaian ini saja aku bertinta.

Terubat kini rinduku yang sekian lama menjajah jiwa,
Seolah ku punya talian darah saudara dengan si rimba,
Hati berbunga pabila dahan dan daunan menepuk bahu ku,
Aku hanyut gembira bersama unggas dan serangga dalam bait lagu.

Disini tiada bingitan kereta,
Tiada juga papan tanda yang dipacak kapitalis kota,
Yang ada cuma deringan angin bayu, 
Alunan air yang berlari di celahan batu,
Juga sang kabus yang mendinginkan kalbu.

Daku aman disini,
Tidak perlu berkejar ke sana ke mari,
Cukuplah sang bintang sebagai teman bicara ku malam ini,
Dan rimba, mari bercerita soal hati.

Sekali aku terpandang anak itu bermain di laman,
Berlatarkan hijau hutan,
Rumah sekadar sambungan bilangan papan,
Ingin aku bertanya pada penguasa yang berbahas di dewan,
Yang dipertua, adakah mereka berhak diberi harapan?

Potret mereka menggambarkan erti kehidupan,
Ku lihat mereka bernafas tanpa kemewahan,
Meredah hutan, buat mengubati tangis perut anak kelaparan.

Setiap hari mereka berdua bicara di meja berita,
Katanya aset negara nilainya berjuta,
Dan esok kita akan bina sebuah lagi singgahsana,
Politikus juga manis bicaranya, suaranya berkata kekayaan sama dirasa.
Namun anak itu masih di lamannya berlatarkan rimba,
Yang dipertua, adakah nikmat berjuta milik penuh kapitalis kota?

Namun bicaraku mungkin tiada nilainya,
Ah kau hanya kuli hina, kata mereka,
Umurmu belum cukup untuk berbicara,
Garam dan gula belum kau rasa.

Lalu ke sini aku membawa diri,
Bercinta dengan sang bulan dan matahari,
Dedaun layu menjadi saksi,
Tangisku yang gugur bila bicara apa terbuku di hati.

Mimpiku kali ini di bawah langit yang terbentang luas,
Bantalku hanya akar kayu yang keras,
Ingin juga ku tinta soal sahabat,
Moga padanya tersebar manfaat.

Sejak kecil kita berteman,
Kini kau sudah di arena perkahwinan,
Begitu pantas sungai waktu berlalu,
Kadang ku termenung di jendela rindu.

Begitu indah saat muda dahulu, kita saling menggali ilmu,
Bertemankan buku juga guru, melakar memori dalam sejarah waktu.

Hari-hari itu kita muda, dan hobi kita adalah mencuba,
Soal kesan belakang cerita, dan memori itu masih basah di minda,
Di rotan ditampar makanan biasa, namun aku gembira,
Kerna akhirnya kita menjadi manusia.

Ku kirim doa agar kau bahagia teman, mencipta bangunan harapan,
Moga dari mu lahir generasi baru, yang bakal menyambung obor perjuanganmu.

Di kaki bukit ini aku aman, tanpa mesej dan deringan,
Yang ada cuma pekat kegelapan dan kedinginan menjadi teman.

Ketenangan disini besar bezanya, cuma embun yang menemani pabila subuh tiba,
Dingin sungai membasahi anggota, dan sujud kita pada pencipa,
Membasahi jiwa.

Di puncak ini aku bertinta bahagia,
Melihat kabus berarak menyelubungi buana,
Awan juga datang singgah menyapa,
Di sini aku mengagumi Sang Pencipta.

Di puncak ini rama-rama kuning nya petah bicara,
Katanya harga peluh dan lenguh telah terbayar,
Katanya keindahaan ciptaan ini hadiah buat mereka,
Mereka yang berusaha dan sanggup membayar harga.

Aku mencari lelahku yang kini hilang dan sudah tiada,
Apa yang ku jumpa hanya sang kumbang mengutus tahniah kerana berjaya,
Kata sang lebah bukan semua manusia tahan berusaha,
Dan aku mengangguk tanda mengiya.

Di puncak ini awan nya dingin, tanahnya basah dengan lumut licin,
Manakala kumbangnya kecil dan mengajak bermain,
Oh tuhan tidak terbayang Syurga mu yang lebih indah yang ku selalu ingin.

Dingin ini mengocak jiwa, ku tersenyum terbang teringat cinta pertama,
Sihatkah dia yang kini menjaga dua nyawa,
Maafkan aku tidak selalu bersama, moga sakitmu Tuhan kurnia pahala,
Dan pengorbanan mu Tuhan kalungkan syurga,
Cintaku padamu tak terungkap dengan tinta.

Kabus bertiup dan bonzai pun menari,
Sedang aku merenung perjalanan hidupku yang hanya tinggal beberapa hari,
Sudahkah ku temui apa yang di cari?

Oh gunung bilakah kita mampu bertemu lagi,
Belum puas aku berbicara dengan mu soal hati,
Bila pula kabus akan memeluk ku lagi,
Menyapa pipi dan membuatkan ku bermimpi.

Syed Ahmad Fathi bin Syed Mohd Khair
Gunung Rajah, Bentong, Pahang.
23 & 24 Mei 2015

Tiada ulasan: